Idul Fitri 2020 yang Paling Menyedihkan

Dua kali selama masa hidup saya hingga saat ini menjalani lebaran dengan kesedihan. Pertama, saat Tahun 2003. Dan yang kedua — Idul Fitri 2020 — ketika saya membuat artikel ini. Untuk yang pertama, lebih bersifat personal. Waktu itu saya sedang menempuh perjalanan spiritual di Jawa Barat. Hingga tak bisa berkumpul keluarga ketika hari besar itu tiba.

 

Dan untuk yang kedua, saya tidak sendirian.

 

Ribuan orang lain juga merasakan hal yang sama.

 

Apalagi kalau bukan karena Covid-19.

 

Dan ketika takbiran dikumandangkan — melalui speaker portable — rasanya hati ini teriris. Tapi tak sampai berdarah. Cukup diwakili air mata. Sebentar saja.

 

Tidak bisa bertemu dengan orang tua secara fisik, saya tidak seorang diri mengalami.

 

Tidak bisa bertemu dengan anak, mungkin juga banyak yang mengalami.

 

Apalagi yang hidup di tanah rantau.

 

Seorang diri lagi.

 

Tentu makin bertambah rasa sedih.

 

Saya tidak perlu ikut menilai atau berkomentar tentang kenapa wabah corona tidak kunjung bisa dikendalikan di Indonesia.

 

Sebab saya tahu anda juga sudah banyak dijejali opini di medsos.

 

Atau jangan-jangan anda juga ikut bagian yang menjejali medsos dengan opini.

 

Ketika Covid-19 mulai terdeteksi di Indonesia sekitar Maret lalu, saya sudah mewanti-wanti di Grup WA klien konsultasi VIP.  Bahwa sepertinya wabah ini tidak bisa selesai dalam waktu dekat.

 

Saya menyarankan klien VIP yang rata-rata pebisnis untuk segera mengaktifkan survival mode.

 

Lalu untuk klien dengan masalah lain yang lebih privat, saya minta untuk menunda beberapa langkah terkait penyelesaian problem yang dihadapi.

 

Yang punya masalah rumah tangga atau asmara, saya minta untuk lebih bersabar dalam situasi sulit ini.

 

Pembatasan sosial juga ikut berpengaruh pada kecepatan problem solving.

 

idul fitri 2020 adalah lebaran yang paling menyedihkan

 

Saya tahu kalau perhatian ke pandemi ini tidak bisa menghapus begitu saja persoalan pribadi masing-masing orang.

 

Kadang sebagian orang bisa menahan diri dalam kesusahan hati.

 

Sebagian lagi takut. Resah dan khawatir hari esok. Yang katanya penuh ketidakpastian itu.

 

Akibatnya adalah stres.

 

Sebagian orang lari ke psikiater.

 

Karena kecemasan yang dirasakan sulit diterima sendiri.

 

Jadi perlu membaginya kepada orang yang ahli.

 

Sebagian orang lain pergi ke tokoh agama.

 

Mencari nasihat. Petunjuk spiritual.

 

Sebagian lagi tidak tahu harus pergi kemana.

 

Tidak tahu harus minta tolong kepada siapa. Atau minimal berbagi isi hati ke siapa.

 

 

Mode Bertahan

 

 

Sebagian orang lainnya memilih untuk melakukan mode bertahan hidup sebisanya.

 

Sebagian korban PHK ada yang rela berjualan di panas siang hari Bulan Puasa.

 

Mulai masker, buah, sampai sembako.

 

Yang kebetulan punya mobil, maka bagasi belakang disulap jadi lapak.

 

Sebagian korban PHK yang lain berjuang sangat keras untuk mudik.

 

Walau dilarang tapi tetap bisa diakali dengan banyak cara.

 

Sebagian lagi menghabiskan waktu di rumah sakit.

 

Entah itu terpaksa lantaran dirawat karena sakit. Baik sakit Covid-19 maupun non Covid-19.

 

Atau, mereka yang berada di garda depan : para tenaga medis yang hebat itu.

 

Yang juga sudah banyak berguguran di perang ini.

 

Idul fitri 2020 akan dicatat dalam sejarah sebagai lebaran yang dirayakan dalam perasaan sedih.

 

Minal Aidin Wal Faidzin.

 

Mohon maaf lahir dan batin.(*)