Malam kemarin, Jumat (14/1) saya bertandang ke Sidoarjo, Jawa Timur. Saya harus menemui beberapa sahabat senior saya, para pinisepuh, untuk berdiskusi tentang sejumlah hal yang menyangkut spiritualitas dan dunia tenaga dalam. Mengingat dalam beberapa waktu ini saya akan mengenalkan sebuah konsep tenaga dalam pembaharu. Tenaga dalam yang sangat khusus dan sangat berbeda dengan metode kebanyakan baik secara nasional maupun internasional.
Saya mengajak seorang teman kantor, sebut saja namanya Riza, seorang pemuda berusia 20 tahunan. Dia adalah karyawan bagian asisten produksi, yang jobdisnya cukup serabutan di perusahaan saya. Sebenarnya dia lulusan diploma satu sebuah sekolah perhotelan, tetapi dia mau menerima pekerjaan sebagai asisten produksi di tempat saya bekerja.
Riza tidak mengetahui kemampuan spiritual saya. Ketika saya menghabiskan waktu berdiskusi dengan para sahabat saya selama hampir dua jam, dia hanya menjadi pendengar yang baik. Beruntung sajian makan malam yang lezat –yakni nasi goreng dan telor ceplok- cukup membuatnya tidak malas menemani saya.
Riza mulai berani berkomentar, saat saya dalam perjalanan kembali ke Surabaya. Dalam mobil, dia menanyakan apakah saya memang menggeluti dunia tenaga dalam. Saya tertawa mendengar pertanyaan polosnya dan tidak menjawab secara gamblang. Saya sengaja membiarkan dia menarik kesimpulan sendiri.
Ternyata, reaksi Riza jauh dari hanya sekedar menarik kesimpulan tentang pertemuan diskusi saya. Riza bahkan bertutur soal pengalamannya di masa remaja dulu saat mengikuti sebuah beladiri beraliran tenaga dalam di kampungnya, di kawasan Porong Sidoarjo.
Awalnya, Riza mengaku tertarik untuk mengikuti beladiri tersebut, karena selain mengajarkan tenaga dalam, perguruan itu juga mengajarkan agama dan doa-doa. Sesuatu yang positif sebenarnya.
Tetapi Riza lantas memutuskan keluar dan berhenti dari perguruan beladiri tenaga dalam itu.
“Kenapa ?” tanya saya.
“Gak enak mas, kelihatannya perguruan itu ngajarin ilmu sesat.”
“Sesat gimana maksudmu ?”
“Iya, soalnya murid-murid diisi ilmu sama gurunya, terus bisa berubah jadi macan…dan nyerang seperti macan begitu,” jawab Riza.
Saya kontan tertawa lagi. Saya paham maksudnya. Itu pasti pengisian ilmu macan.
“Kata guruku, ilmu macan itu tak boleh sembarang digunakan, hanya boleh dipakai kalau musuh kita benar-benar sulit dikalahkan…” sambung Riza.
Setelah reda tawa saya, saya lantas bertanya begini :
Jadi kamu ambil kesimpulan kalau itu agak nyerempet ilmu sesat begitu…?”
“Iya mas…”
Saya membenarkan pendapat Riza. Saya minta dia untuk tetap bertahan di kesimpulannya tersebut.
Tak terasa saya terdiam sesaat sebelum memasuki kota Surabaya. Saya merenung, teman kerja saya ini, yang begitu polos dan sederhana, yang tidak neko-neko (tidak macam-macam) ternyata oleh Tuhan dibukakan pintu hatinya untuk menerima hidayah. Benar-benar luar biasa. Keyakinannya telah menyelamatkannya dari jurang syirik dan tipu daya Jin. Padahal, tidak ada yang memberitahunya. Dia memperoleh hidayah dari pemikirannya sendiri.
Banyak orang yang belum atau tidak dibukakan pintu hidayah oleh Tuhan. Tak memandang siapa dia dan apa statusnya, kalau Allah belum berkehendak maka tidak ada hidayah yang bisa masuk ke hati seseorang. (*)