Pandemi Covid-19 belum selesai ketika saya publish artikel ini. Dampaknya luar biasa. Resesi di depan mata. Virus corona sudah menumbangkan banyak bisnis. Seorang teman pengusaha kirim WA ke saya minggu lalu. Dia menanyakan apa kunci bangkit dari usaha yang bangkrut. Teman saya itu punya beberapa bisnis. Ada yang terpaksa closed permanen. Ada yang dicoba survive setengah mati. Dengan tidak mem-PHK karyawannya.
Pertanyaan bagus dan jawaban yang sulit.
Tergantung dari kacamata mana kita akan membahasnya.
Tapi karena saya adalah spiritualis, maka kunci bangkit dari usaha yang bangkrut tentu harus dari sisi spiritual dan metafisika.
Meski jawabannya dari sisi batiniah tapi satu hal yang mesti anda ingat.
Bahwa muaranya tetap sama : yakni sejauh mana dan sekuat apa kemampuan recovery usaha itu sendiri.
Saya bicara tentang modal.
Saya berasumsi bahwa anda tidak bangkrut total. Artinya masih punya aset dan bahan bakar untuk menyalakan roket bisnis saat dibutuhkan nanti.
Jangan berpikir bahwa aset itu harus “besar”, seperti tanah, kendaraan, rumah, tabungan, deposito, dan sejenisnya. Itu memang tergolong aset. Dan syukur kalau anda masih punya aset seperti itu.
Tapi kalau anda tidak punya aset besar itu, maka paling minimal, lihatlah aset yang ada sekarang ini.
Badan anda adalah aset. Kaki dan tangan anda adalah aset. Kesehatan adalah aset. Aset yang sangat teramat mahal. Kalau masih tidak percaya, silahkan mampir ke rumah sakit. Dan lihatlah saudara kita yang terpaksa dirawat lantaran Covid-19. Atau penyakit lainnya.
Mari kita belajar bersyukur bersama-sama sebab Tuhan masih memberikan aset itu kepada anda dan saya.
Betapa banyak diluar sana saudara-saudara kita yang aset kesehatannya tidak seperti kita.
Mereka yang terinfeksi Covid-19. Atau mereka yang sudah punya penyakit lainnya dan terpaksa menjalani rawat jalan atau bahkan rawat inap di rumah sakit. Ada yang stroke, jantung, gagal ginjal, kanker stadium akhir, dan sakit lainnya.
Saran untuk Anda yang Frustasi
Kalau anda sudah bisa bersyukur soal itu, maka kita masuk pada fase berikutnya.
Yakni introspeksi diri dan memperbaiki hubungan dengan Yang Maha Kuasa.
Perbaiki pendekatan kita kepada-Nya.
Bagi sebagian orang yang mengalami frustasi akibat lesunya usaha, tidak mudah menerima saran ini.
Saya paham itu.
Sebagian anda pasti ada yang menyalahkan keadaan. Atau bahkan menyalahkan Tuhan.
Misalnya, pengusaha yang stress berat lantaran rencana investasinya di Tahun 2020 ini berantakan.
Sudah terlanjur menanamkan investasi besar tapi semuanya zonk akibat wabah corona.
Saya bertemu dengan beberapa klien dengan problem serupa seperti itu.
Rasanya saran untuk sabar dan terus sabar adalah saran yang klise. Gampang diucapkan tapi sangat sulit diterima.
Tapi problem itu dialami oleh seluruh pebisnis di dunia. Tak cuma anda sendiri.
Sekaranglah saatnya belajar berserah diri.
Berserah diri kepada-Nya.
Mau berontak seperti apa kita sebagai manusia, kita tetaplah ciptaan-Nya.
Dan, kita tinggal di bawah kolong langit-Nya. Kalau anda tidak mau nerimo dan belajar tabah, anda mau pindah ke langit mana ?
Wajib Punya Pembimbing Spiritual
Jika anda sudah berlatih di fase “perbaikan hubungan kepada Yang Maha Kuasa”, maka kita masuk ke fase kedua.
Yaitu melihat modal dan aset yang masih dipunyai.
Sekali lagi saya berasumsi anda belum bangkrut total.
Mulailah usaha dengan modal yang ada.
Sisihkan sebagian modal ke investasi spiritual. Dalam hal ini jika anda berdagang atau wiraswasta maka saya sarankan agar anda pertimbangkan punya pelaris usaha.
Atau bisa juga piranti spiritual lain yang fungsinya adalah untuk meningkatkan dan menarik rezeki serta kemudahan dalam berbagai urusan.
Anda membutuhkan piranti spiritual semacam pelarisan, money magnet, keberuntungan, kerezekian, proteksi usaha, dan sejenisnya untuk menguatkan frekuensi batiniah selama melewati masa sulit ini.
Itulah salah satu kunci bangkit dari usaha yang bangkrut yang wajib anda pikirkan.
Anda boleh percaya atau tidak. Tapi sebagian besar pengusaha yang mempunyai back up spiritual umumnya lebih tangguh dalam bertahan di tengah badai. Ketimbang mereka yang “kosongan”. (*)