Ketika sebuah perkawinan bermasalah serius, pikiran di benak pasangan suami isteri sering dihinggapi pertanyaan ini: apakah saya lebih baik cerai atau bertahan ? Dan, sekali lagi, keputusan mau survive dalam rumah tangga — atau menyudahinya saja — adalah pilihan yang mempunyai konsekuensi.
Untuk membuat keputusan itu, anda pasti sudah bertanya kesana sini.
Berkonsultasi. Curhat dengan kerabat atau keluarga.
Mungkin juga kepada orang tua, jika mereka masih ada.
Atau, anda mendatangi balai pembinaan perkawinan. Yang biasanya jadi satu atap dengan KUA (kantor urusan agama). Atau lembaga serupa, bila anda non muslim.
Intinya, semua tokoh agama, pemuka agama, akan memberikan nasihat.
Begitu pula, tokoh adat. Di beberapa daerah, pasangan yang bercerai bisa dikenai sanksi adat.
Banyak Faktor yang Pasti Membuat Anda Resah
Ya, tentu tidak mudah mengambil keputusan lebih baik cerai atau bertahan.
Ditambah lagi, jika sebuah perkawinan itu sudah dikaruniai anak.
Pasti akan bertambah kesulitan mengambil keputusan.
Ditambah lagi ini: anda browsing google, dan mencari sendiri informasi, apa dampak atau akibat perceraian.
Saya jamin, anda akan semakin sulit mengambil keputusan.
Karena itu, saya akan memberi sebuah saran pertimbangan. Ini penting anda punya. Sebab, ketika pertimbangan ini tidak bisa menjadi indikator yang kuat, jangan coba-coba untuk mengambil keputusan cerai.
Ini pertimbangannya: jika anda rasa sebuah perkawinan yang dipertahankan hanya akan membawa kerusakan alias keburukan lebih besar di masa mendatang, maka anda baru boleh memantapkan hati untuk cerai.
Ingat kata kuncinya: kerusakan atau keburukan.
Biasanya, ini terjadi jika sifat buruk pasangan sudah tak mungkin bisa diubah.
Anda bisa melihat di berita kriminal atau browsing youtube, berapa banyak kejadian kriminalitas akibat pasangan berkarakter buruk. Dan, pada akhirnya menyiksa bahkan menghabisi nyawa pasangannya sendiri.
Ini tidak berkait dengan gender. Baik pria (baca:suami) atau wanita (baca:isteri) tetap mempunyai kans yang sama untuk berbuat jahat atau keburukan.
Salah satu rekan kerja saya, mengambil risiko itu.
Wanita. Anaknya 1.
Informasi yang diperoleh, rekan kerja saya itu sering dianiaya suaminya.
Kasar, temperamental, dan main fisik.
Tapi, rekan kerja saya itu tak mau bercerai.
Bahkan — dia mengakui kepada teman satu unitnya — kalau bekerja hanyalah upaya pengalihan perhatian agar tidak terlalu stres saja.
Rekan kerja saya itu hanya bertahan dan rela disakiti: hanya demi anak semata wayangnya.
Konflik rumah tangga, pertengkaran yang selalu terjadi, nyaris tiada hari tanpa ribut atau selisih paham, adalah beberapa tanda saat rumah tangga boleh diakhiri. Agar mencegah keburukan lebih besar.
Kepada klien saya, saya selalu melihat sisi psikis yang bersangkutan.
Saya tahu, mana klien yang hanya emosional lalu spontan ingin cerai.
Saya juga tahu, mana klien yang harus menyudahi rumah tangganya.
Siapkan Mental yang Kuat
Kepada klien golongan pertama, saya menyarankan untuk tidak mengambil pilihan cerai kalau tidak kuat dengan risikonya. Apalagi, kalau klien saya tidak punya kemandirian dan bergantung hidupnya pada pasangan. Dalam beberapa kasus, untuk memulihkan situasi rumah tangga, saya memberikan piranti khusus.
Klien golongan pertama ini saya juga minta agar melihat lagi dampak atau akibat perceraian. Agar tidak perlu berpisah.
Akan ada luka yang mesti anda derita. Masalahnya, anda bisa menahan luka atau tidak.
Misalnya, depresi atau insomnia.
Untuk klien golongan kedua — yang saya lihat harus mengakhiri rumah tangga — maka saya akan minta yang bersangkutan menyiapkan segalanya. Terutama mental dan ekonomi.
Mental paling penting. Harus tahan rasa sakit. Tahan rasa kecewa.
Seorang isteri yang bercerai biasa melampiaskan rasa dengan menangis.
Seorang suami yang bercerai, bisa menahan tangis. Tapi, rasanya, hatinya tetap berdarah-darah. Entah sampai kapan.
Nah, setelah membaca sharing saya ini: apa keputusan anda ?
Saat hidup berada diluar kendali, sangat penting untuk menenangkan diri sendiri.(*)