Salah satu teman bertanya kepada saya setelah membaca beberapa artikel saya soal toxic relationship. Sebenarnya kapan mulai bisa merasakan sebuah hubungan yang dijalani itu tidak nyaman ? Saya beri dia pertanyaan balik: pernah pacaran ? Pernah, jawabnya. Pernah putus sama pacar ? Pernah, jawabnya lagi.
Nah itulah tandanya. Tanda saat anda merasakan sebuah hubungan sebenarnya tidak sehat lagi.
Di level pacaran itu sejatinya sudah banyak hal yang bisa menjadi tolok ukur sehat atau tidaknya sebuah hubungan.
Tetapi, seringkali semua keburukan yang muncul tidak terlihat.
Atau terlihat tetapi diabaikan.
Mata sudah dibutakan oleh yang namanya cinta.
Selalu ada ungkapan: cinta adalah segalanya.
Atau, The Power of Love. Kekuatan cinta itu bisa mengalahkan segalanya.
Saya tidak menyalahkan situasi yang demikian.
Sudah sifat manusia yang cenderung lalai dan terlena oleh sesuatu.
Apalagi karena urusan asmara.
Di saat seperti itu, sebenarnya yang bisa melihat ketidakberesan atau keburukan dalam sebuah hubungan adalah orang lain. Bukan anda yang sedang dimabuk kasmaran.
Orang lain itu bisa : sahabat, teman, orang tua, kerabat dekat, saudara.
Tapi, pandangan orang tua, kerabat, saudara itu bisa diabaikan. Apalagi pandangan sahabat atau teman.
Cinta Keras Kepala
Mari kita bahas contoh kasus ini :
Yuvi adalah gadis yang baru lulus kuliah. Dapat gelar sarjana. Umurnya baru 23 tahun.
Wanita muda yang energik, berparas manis, dan siap menjadi wanita karir.
Masa depan sepertinya terbuka lebar.
Entah bagaimana, Yuvi tiba-tiba menjalin asmara. Dengan pria berusia 30 tahun.
Sang pria pujaan hati — maaf — tidak bekerja. Dia hanya membantu keluarga menjaga warung kecil-kecilan di pasar.
Selain tidak bekerja secara formal, sang pacar juga tidak melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Hanya lulusan SMA.
Keluarga dan kerabat Yuvi sedih.
Bukan bermaksud meremehkan si pria.
Namun, setidaknya, si pria bisa bekerja di sektor lain. Minimal, bekerja di toko, perusahan atau pabrik, atau bekerja sebagai driver online.
Tapi Yuvi bersikeras.
Dia tetap akan menikah dengan pria pujaannya dalam beberapa bulan lagi.
Yuvi sendiri belum bekerja. Dia juga berasal dari keluarga sederhana. Orang tuanya harus bekerja sangat keras untuk menyekolahkan dia hingga jenjang yang tinggi. Berharap putri satu-satunya itu bisa memperoleh taraf hidup yang baik. Dan tentunya bisa memilih calon pasangan yang setara. Atau lebih baik.
Namun, keinginan orang tuanya tinggal harapan belaka. Yuvi tidak peduli.
Masih banyak kasus lain. Tapi lain kali saja saya share.
Hidup adalah pilihan. Itu benar.
Di tempat lain, ada orang yang sangat pemilih. Atau, ada yang sangat materialistis. Tidak mau pacaran dengan orang kasta miskin.
Saya melihat dari sudut pandang saya sendiri. Di umur 40-an ini, rasanya cara pandang saya sudah berbeda.
Saya pernah berada di usia seperti Yuvi. Memang di usia itu semuanya seakan-akan sangat idealis. Semua keinginan sangat menggebu-gebu. Khas cara pandang anak muda. Tidak mau menerima nasihat. Menganggap di dunia ini hanya pikiran sendiri yang paling benar. Pikiran orang lain semuanya salah.
Di level dewasa muda itu, putus sama pacar bukanlah perkara sederhana.
Putus sama pacar seringkali membawa kebaikan.
Tapi juga bisa membawa keburukan.
Disinilah perlunya minta pandangan atau saran dari pakar spiritual.(*)