Ini sudah 40 hari saya berdinas di Singaraja, Bali, sejak pertengahan September lalu. Meski meninggalkan Jawa, saya tetap menerima konsultasi langsung maupun online dibantu sejumlah staf saya yang berada di Surabaya, Jawa Timur. Beberapa klien juga sudah mengunjungi klinik yang saya rintis di bumi Singa Ambara Raja.
Suatu malam, sebuah pesan BBM (blackberry messenger) masuk ke smartphone saya. Seorang teman wanita saya awalnya hanya bertanya kabar dan say hello lantaran lama tidak jumpa. Setelah sekadar basa-basi, percakapan ringan via BBM itu pun terhenti. Baru keesokan harinya, teman saya itu (sebut saja Rima) mengupdate status BBM-nya. Dari update status itu saya lihat dia mengalami kegalauan yang luar biasa.
Penasaran, saya pun mencoba menyapanya dengan ringan. Dan, tanpa bermaksud mencampuri urusannya, saya hanya menyarankannya untuk lebih bersabar menjalani hidup. Tak disangka, teman saya yang lama menetap di Malang, Jawa Timur ini sedikit demi sedikit terbuka tentang masalah yang dia hadapi. Ini persoalan konflik rumah tangga, yang pada akhirnya mengarah pada divorce.
Kalau soal hukum, perceraian sudah diatur sedemikian rupa. Hanya saja, yang dia alami tidak hanya itu. Rima mengalami gangguan kesehatan serius. Terlebih lagi, dari penuturannya yang disertai indikasi metafisik baik yang dia rasakan ataupun anak-anaknya rasakan, kuat dugaan bahwa sang mantan suami beserta wanita yang diduga pasangan gelapnya, menggunakan ilmu sihir untuk merusak kesehatan Rima. Tak hanya merusak kesehatan, tetapi juga menginginkan kematian perlahan dari Rima.
Saya berusaha meyakinkan Rima bahwa mendekatkan diri kepada Tuhan yang Maha Kuasa adalah upaya yang terbaik untuk mengalahkan guna-guna. Namun sepertinya sudah banyak yang menyarankan hal serupa ke wanita berusia 34 tahun itu.
“Tidak ada pilihan lain,” begitu ujar saya dalam hati. Teman saya ini harus memiliki sistem penetralisir sihir. Pasalnya, auranya mengalami penipisan secara drastis. Energi negatif yang masuk ke dirinya telah merusak metabolisme dan sistem hormonal, serta menutup jalur cakra tenggorokan dan cakra jantung. Hal ini dibuktikan dengan pengakuan Rima, bahwa suaranya hilang sejak enam bulan silam dan batuk parah yang tidak kunjung reda. Dia sudah berganti beberapa dokter namun diagnosa belum pasti.
Jika energi negatif dari santet itu terus menggerus bioplasmik di cakra tenggorokan dan cakra jantung, maka dampak penipisan aura tak bisa dihindari. Semua sihir yang bersifat destruktif mengarah pada cakra jantung, dan itu artinya target terancam kematian.
Saya meminta Rima untuk segera menemui para trainer senior dalam tim kami. Dia menuruti. Dengan kondisi yang sangat lemah dan lemas karena stres serta asupan nutrisi yang kurang, Rima mencoba mengikuti metode pembangkitan sistem penetralisir sihir.
Metode ini sebenarnya sudah di desain khusus untuk kaum hawa. Gerakannya sangat halus dan tarikan nafas pun sehalus mungkin. Bahkan tidak memakai kuda-kuda saat melakukan olah gerak jurus. Seharusnya, metode ini diikuti Rima selama empat hari berturut-turut. Pada hari keempat itulah, sistem penetral sihir itu diaktifkan.
Sayang, Rima hanya bertahan dua hari setengah. Dia ambruk di tengah masa training. Sistemnya belum sempat diaktifkan lantaran power masih separuh. Beratnya serangan santet yang menghujam tubuh dan jiwa Rima sebenarnya masih dapat dinetralkan. Hanya saja, Rima tak mampu meneruskan training lebih karena asupan tenaga fisik yang minimalis. Ditambah lagi, meski dia diawasi dua trainer terbaik di tim kami, Rima merasa sendirian. Tak ada dukungan semangat dan kekuatan dari keluarga besarnya. Kedua anaknya yang duduk di bangku SMA, semuanya berada di luar kota. Terpisah dari Rima. Saya lebih melihat kekuatan Rima hilang sampai 70 persen disebabkan perpisahan dengan keluarga besarnya, khususnya dengan anak-anak yang amat dicintainya.
Saya bisa memahami perasaan hancurnya saat melihat rumah tangganya harus berakhir.
Semoga Allah swt memberimu jalan terbaik. (*)