Status Janda Bisa Ubah Jalan Hidup

Saya membutuhkan waktu cukup lama untuk mengulas artikel tentang status janda ini. Untuk mencari referensi, saya berbicara dengan sejumlah klien wanita yang menyandang gelar itu. Atau, yang pernah menyandang status itu.

 

Saya bertanya tentang perasaan mereka.

 

Juga meminta kesediaan mereka untuk sharing dengan saya: pengalaman apa saja yang dijumpai saat menjadi wanita single kembali.

 

Dan bagi saya itu tidak mudah.

 

Diantara mereka, para wanita tangguh itu, ada yang sampai berurai air mata saat mengisahkan perjalanannya. Karena teringat masa kelam yang menyakitkan.

 

Saya jadi merasa bersalah.

 

Tapi kalau saya tidak mengajukan pertanyaan, saya tidak akan tahu perasaan para wanita itu.

 

Meski saya bisa membaca timeline atas izin yang Maha Kuasa, tapi saya bukan ahli telepati. Saya butuh penuturan asli dari mereka yang menyandang status janda, baik karena cerai hidup maupun cerai mati.

 

Selain mendapat sharing pengalaman langsung dari orangnya, saya juga googling untuk menemukan informasi lain seputar status yang banyak dihindari kaum hawa itu.

 

Saya rasa istilah janda sendiri sebenarnya mengandung makna netral. Istilah ini punya pasangan: duda. Yang juga sama netralnya.

 

Tapi entah kenapa makin kesini istilah janda diidentikkan dengan konotasi yang rada negatif. Beda dengan duda. Padahal istilah ini berpasangan.

 

Kalau ada duda, maka pasti ada janda. Dan sebaliknya. Tapi kenapa stigma negatif hanya mengenai janda?

 

Itulah yang juga dituturkan sejumlah klien wanita kepada saya.

 

Mereka curhat soal itu.

 

Nilai sosial di masyarakat terbentuk dari sebuah kebiasaan buruk. Yakni mendefinisikan janda sebagai wanita yang punya pengalaman seksual tapi tidak terikat pernikahan.

 

Dan ditambah lagi: wanita yang jablay, jarang dibelai, dan haus keintiman dengan kaum pria.

 

Janda menjadi korban bullying baik secara verbal maupun non verbal. Mulai dari social media sampai bak truk yang sering anda jumpai di jalanan itu.

 

Belum lagi celaan keluarga saat anggota keluarganya ada yang menjadi wanita single pasca menikah. Untuk menutupi aib sosial, si janda tadi seringkali dipaksa cepat-cepat menikah lagi dengan orang lain.

 

Stigma negatif inilah yang rupanya menjadi pertimbangan njlimet sejumlah klien saya yang lain. Saat saya melihat timeline perkawinannya buruk dan solusi perceraian tampaknya menjadi pilihan akhir.

 

Stigma Negatif Harus Diabaikan Jika Ingin Hidup Berubah

status janda atau duda sebenarnya berdampak sama, yakni sama sama bisa mengubah jalan hidup. bisa lebih baik, atau lebih buruk, tergantung pada bagaimana seseorang menata langkahnya setelah berpisah.

 

Padahal, status janda maupun status duda bisa mengubah jalan hidup seseorang, khususnya jika mengalami perkawinan yang bermasalah dan tak bisa diselesaikan lagi secara kekeluargaan.

 

Sudah saya sampaikan di bagian lain bahwa tak ada orang menikah dengan tujuan untuk bercerai.

 

Semua orang yang menikah, tak peduli suku, agama, dan ras, punya tujuan yang sama: yakni untuk mencari kebahagiaan sampai akhir hayat bersama pasangannya.

 

Tapi waktulah yang menguji segalanya. Termasuk komitmen. Waktu pula yang bisa menyeret sepasang suami istri jatuh ke perceraian. Itu jalan yang terakhir. Hanya untuk menghindari keburukan yang lebih besar.

 

Karena banyak kejadian di sekitar anda, ketika konflik rumah tangga sangat memanas, bisa berpotensi pada peristiwa yang lebih buruk, seperti kriminalitas atau kekerasan yang sampai mengancam kehidupan.

 

Perpisahan suami istri adalah pengorbanan yang berat. Oleh karenanya anda sebaiknya mencari saran dari orang yang berkompeten memberikan nasihat.

 

Secara psikologis, anda bisa meminta pandangan dari psikolog atau konsultan perkawinan.

 

Secara hukum, anda bisa meminta saran dari pengacara.

 

Secara agama, anda bisa menemui tokoh atau pemimpin umat/jemaat.

 

Secara spiritual, anda bisa meminta pertimbangan dari konsultan spiritual yang sesuai dengan style anda.

 

Konsultan spiritual yang baik seharusnya juga memberi saran bagi seseorang untuk menjalani kehidupan pasca perpisahan. Tujuannya agar timeline kehidupan kliennya bisa membaik, menemukan pasangan baru yang sesuai, sehingga terhindar dari pengulangan kesalahan yang sama.(*)